You Are Reading

0

Kota Gila

abdyalatief Kamis, 31 Maret 2011
Pagi menyingsing, baru saja terbit setelah rembulan malam bersembunyi. Katak-katak masih berlomba, mengadu jeritan hatinya pada alam yang bersahabat.
Sementara angin sepoi-sepoi yang menusuk tulang, terganti dengan kehangatan aliran gerak tubuh yang mengaduh pada mentari.
Malam tadi memang mozaik hidup. Mozaik yang penjelajahannya adalah jiwa murni berlandaskan nurani.
Kisah manusia gila adalah kehidupanku malam tadi, dan pagi ini merupakan terusan eksplorasi kota yang sebenarnya.
“Jalan ini indah, dengan nurani dan jiwa yang bebas, sebebas kehidupan gila yang memang hanya dimiliki oleh orang-orang istimewa, orang-orang tanpa dosa.
Sebenarnya tentang jiwa dan nurani adalah milik manusia seutuhnya, namun nurani ini barganti dunia lain yang juga dimiliki dan diinginkan manusia juga, dan untuk jiwanya adalah telah bertemu kemanisan yang dirasakannya.”
Aku berjalan menyusuri riuh-ramai dengan jiwa yang benar-benar aku miliki. Sungguh luar biasa!! Hidup ini aku nikmati…
Ibu penjual nasi gudeg, aku dekati perlahan tanpa ada jiwa yang dimilikinya tentangku. Aku duduk, dan in adalah sentuhan yang ku berikan di hatinya. Dan buahnya adalah terbungkuslah sebuah nasi dengan lauk hati yang tulus.
Mungkin Ibu itu akan bercerita tentang kisahnya bersamaku pagi itu pada keluarga, tetangga, atau bahkan sebagai cerita penghantar tidur anaknya. Ahh… itu bukan urusanku, tapi mungkin saja memang terjadi.
Aku tak punya pikiran tentang kegilaan ini, karena aku telah hanyut dalam untaiannya.
Di depanku tampak anak-anak SD yang lucu dan menggemaskan. Mata dan hatinya masih tulus tanpa kabut, sehingga kata-katanya tanpa jarring, bebas menggema dengan senandungnya yang berirama, “orang gila, orang gila!!”.

***

Mata hati ini kaku, berlaku di antara nurani dan jiwa yang sudah terpecah menjadi bagian-bagian itu sendiri.
Sudah jauh berbeda, tak mungkin tersamakan!
Pikiranku meluncur dalam keberanian. Kepalaku tertunduk, namun mata tajam menatap depan, mengeksplorasi kota.
Di depan, seorang penjaga toko ku hampiri. Nampak dari wajahnya, pikirannya terkatup-katup, tekut melihatku dan keadaanku. Dari sini,nampaklah sebuah arogansi yang dibuat-buat. Penampilan rupanya tidak bias mewakili hati, mata hanya menatap pantulan luar. Yang jelas dibutuhkan hati untuk menangkap hati.
Dia mengusirku, namun mata dan wajahnya ketakutan. Aku maju melawannya dan dia lari terbirit-birit. Dalam hati, ini adalah kemenangan hati!!
Aku pergi mencari sobekan, puing, bekas, dan sisa-sisa yang semuanya ku anggap baru. Mata ini begitu jeli mencari pembuangan manusia. Entah apa itu, namun memang sebuah sisi lain yang hidup tak sama dengan sisi lainnya.
Orang seperti aku ini, punya dunia sendiri tanpa ada orang lain yang tahu, kecuali pemilik jiwa sejati dengan mata yang tak melihat penampakan luar.
Bekas sandal, sepatu, pakaian, dan botol-botol ku hiaskan pada tubuh. Sandal ku hiaskan di tangan kanan, dan sepatu di tangan kiri.
(next on...)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2010 abdyalatief
Alamtara Blue Sudahmasa template by AMIKOM